Kamis, 01 Desember 2011

Sesal!

SESAL!
OLEH SYLVIANA SANDRA

Pagi itu dia bersemangat mengejar waktu yang berlari lebih cepat. Seakan tak memberinya kesempatan untuk mengatur nafasnya sejenak. Adalah ia bernama Miqdad seorang lulusan teknik industri disebuah perguruan ternama di Indonesia, lulus dengan predikat sangat memuaskan namun hidup dengan kondisi perekonomian keluarga yang tidak menguntungkan. Setiap hari ia harus rela bangun lebih pagi daripada kokok ayam yang dipelihara ayahnya di kandang samping rumah mereka, mata yang mengantuk seperti di gelayuti batu tak diindahkannya, ia hanya peduli pada satu petuah bahwa untuk menjadi sukses adalah dengan bangun lebih pagi dan menyelesaikan semuanya lebih awal. Setiap pagi ia seka tubuhnya dengan air hangat yang ia rebus menggunakan kompor minyak usang milik sang ibu yang bersikukuh tidak mau menerima tabung gas baru sebagai konversi kompor minyak usang miliknya yang diberikan cuma-cuma oleh pemerintah; “aku miskin tapi aku tidak bodoh”, katanya. Miqdad pun hanya tersenyum mendengar alasan ibunya tersebut, terbesit rasa bangga akan pemikiran sang ibu walaupun ia sadar, ibunya tak pernah mengenyam bangku sekolah seperti dirinya. Sifat itulah yang diturunkan sang ibu kepadanya, bahwa hidup itu tidak perlu bersekolah jika ingin pintar, alam raya adalah maha guru baginya, dan sang ibu tidak mau diperbudak oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang membuat aktifitas manusia seakan dipermudah dangan teknologi canggih padahal teknologi tersebutlah yang justru membunuh manusia perlahan dengan sifatnya yang instan dan merubah perilaku manusia yang menggunakannya. Disisi lain sang ibu tidak mau anak-anaknya bernasib serupa dengan dirinya, dengan pendapatan sang suami yang pas-pasan, mereka tetap ingin menyekolahkan kedua anak mereka dengan harapan penghidupan yang lebih baik, kelak.
Lamunan Miqdad akan perangai ibunya tersentak dengan derit langkah si bungsu Kinanti yang kini telah beranjak besar, dengan teriakan khasnya meminta sang kakak menyudahi aktifitasnya didalam kamar mandi rumah mereka. Miqdad lalu menggerakkan gayung dalam genggamannya agar ia tuntaskan ritual mandi dan menyudahi lamunannya tadi.
Siang ini sekitar pukul 10.00, Miqdad harus mendatangi sebuah kantor di Jalan Gejayan Yogyakarta, rute jalan yang ia lalui dari rumahnya di desa Kembangarum menuju kantor tersebut tidaklah sulit, sebagai pemuda yang terlahir dan besar selama 23 tahun di kota Yogyakarta, perjalanan ini merupakan hal biasa dan sering ia tempuh menggunakan sepeda motor Honda Goldwing Interstate tahun 1980 yang ia dapat dari pakde-nya saat ia diterima masuk perguruan tinggi negeri dulu. Hampir seluruh jalan di Yogyakarta pernah ia lalui, sehingga perjalanan kali ini mampu ia lalui kurang dari satu jam. Saat memasuki gerbang kantor yang bergerak dibidang distribusi alat berat untuk wilayah DIY dan sekitarnya tersebut, tiba-tiba muncul suatu kekhawatiran dalam diri Miqdad, seakan berat langkah kakinya untuk menghadapi wawancara pertamanya dalam proses pencarian kerja yang ia lalui setelah dinyatakan lulus sarjana empat bulan lalu, ia ragu dan malu akan apa yang ada dalam dirinya saat ini. Namun ia tetap melangkahkan kakinya dengan mulut komat-kamit penuh doa kepada Tuhan yang agung agar memudahkan usahanya kali ini.
Setelah menunggu selama 40 menit di ruang tunggu, akhirnya nama Miqdad dipanggil untuk bertemu langsung dengan HRD kantor yang siap memberondong pertanyaan ke dirinya. Sejenak matanya terfokus pada ruangan sejuk dan wangi pengharum ruangan yang menyegarkan otaknya ditambah pemandangan paha mulus wanita berkacamata tepat diseberangnya kini. Dengan perlahan ia mengambil posisi duduk yang nyaman dan siap dilucuti dengan pertanyaan dari bibir indah sang pewawancara.
Perempuan cantik berkacamata dengan paha yang mulus itu pun memulai wawancara kali ini, dengan manisnya ia memperkenalkan sebagai HRD dalam perusahaan tersebut dan bernama Lupita. Lupita memperhatikan tiap detil yang Miqdad pakai dan yang Miqdad ucapkan seakan-akan penuh rasa ingin tahu akan kehidupan lawan bicaranya tersebut. Setelah Lupita mempersilakan Miqdad memperkenalkan diri kepadanya, ia bertanya apakah Miqdad siap bekerja untuk perusahaan yang sudah membuatnya bertahan dalam tiga tahun terakhir ini, ditambah detil penjelasan mengenai jenis pekerjaan dan beban tanggung jawab Miqdad kelak ketika ia sudah bergabung diperusahaan tersebut sebagai asisten kepala gudang dengan peraturan perusahaan yang berlaku. Seketika itu pula darah Miqdad seakan mengalir cepat ke kepalanya sehingga ia mampu menjawab dengan lugas dan penuh keyakinan ala pencari kerja dan tanpa pengalaman matang yang siap menerima segala jenis tanggung jawab asalkan ia diberikan kesempatan bekerja.
Namun tidak dapat dipungkiri sejak kandidat pertama sampai dengan kandidat terakhir sebelum Miqdad, Lupita tidak bisa merasakan keyakinannya untuk menerima kandidat-kandidat sebelumnya, namun saat ia berbincang dan menjalani proses wawancara dengan Miqdad ada sesuatu yang bermain dalam hatinya, seakan ia yakin Miqdad-lah yang ia cari. Sesaat setelah proses wawancara itu selesai, Lupita tidak lupa mengucapkan terima kasih atas kesediaan Miqdad untuk mengikuti proses tersebut dan berjanji akan segera menghubungi Miqdad ke nomor ponsel Miqdad, lalu Miqdad sontak bertanya kembali “maaf, maksud ibu, saya akan dihubungi ke nomer mana?”, dan Lupita menjawab “ke nomer handphone anda.”
Bersahabat dengan debu dan ramainya lalu lintas kota Yogyakarta tidak membuatnya merasa dalam sebuah keramaian. Pikirannya menerawang jauh pada kejadian yang berlalu 20 menit sebelumnya, bayangan akan sosok Lupita si paha mulus yang berjanji akan menghubunginya ketika pekerjaan itu berpihak pada dirinya, namun bukan paha mulus dan bayangan akan pekerjaan yang nantinya akan ia dapatkan, tapi bagaimana ia bisa tahu kalau ia diterima Lupita bekerja di kantor tersebut apabila ia tidak memiliki handphone seperti yang Lupita maksud.
Sepanjang perjalanan, Miqdad merasakan perdebatan sengit antara hati dan pikirannya, ia sadar bahwa ia kini hidup ditengah jaman yang serba modern, bahkan seakan manusia telah diperbudak oleh modernisasi yang ada. Namun apakah salah ketika ia bersikap acuh terhadap perubahan sosial yang ada disekelilingnya, dimana ia tak ingin merasakan begitu mudahnya menjalani segala aktifitas hanya dengan bantuin alat-alat berteknologi canggih, ia hanya memiliki Honda Goldwing Interstate yang dengan terpaksa ia gunakan karena paksaan pakde-nya dulu. Ia menganggap dirinya tak ingin diperbudak oleh teknologi bukan karena semata mengikuti pemikiran kritis sang ibu, namun ia meyakini bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan ciptaan-Nya yang lain, karena Tuhan sudah memberikan segala yang dibutuhkan manusia untuk hidup.
Miqdad pun memilih mengakhiri wawancara tadi dengan menjelaskan sikap antipatinya terhadap penggunaan teknologi, termasuk handphone yang ia tuturkan secara halus kepada Lupita dengan harapan Lupita dapat memaklumi keteguhan sikapnya itu, ia pun menyanggupi untuk mencari tahu sendiri hasil dari wawancara tersebut dengan menempuh perjalanan yang sama tiga hari kemudian walaupun hasilnya ia tidak diterima diperusahaan tersebut, tetapi biar begitu ia puas, karena ia bisa mendapatkan kabar tersebut dengan usahanya sendiri tanpa HANDPHONE.
Malam ini Miqdad tak bisa menikmati tidur nyenyaknya, ia memikirkan hari esok akan hasil wawancaranya dengan Lupita beberapa hari yang lalu. Hanya sebongkah harapan anak kampung yang ingin sukses di kota Yogyakarta, itulah penyemangat Miqdad malam ini hingga kantuk pun datang.
Pagi harinya ia bergegas menelusuri jalan raya menuju kawasan Gejayan untuk mengetahui hasil wawancara tempo hari, dengan semangat yang tinggi sang pemuda desa tersebut menuntun motor usangnya memasuki pelataran parkir kantor yang mulai akrab dengannya. Hari ini ia berjanji, apapun hasilnya adalah yang terbaik baginya, perjuangan masih panjang, masih banyak pelataran parkir kantor lain yang dapat ia masuki dengan motor usangnya. Lima belas menit menunggu, sosok perempuan yang ia kagumi beberapa hari yang lalu muncul, menyunggingkan senyum dan menonjolkan keyakinan yang tak diketahui Miqdad. Lupita mendekati Miqdad sambil menyapanya hangat, seakan ingin menyampaikan berita yang baik, mungkin.
Kini ia kembali menempuh perjalanan yang sama untuk kembali ke rumahnya, sama seperti tiga hari yang lalu, hatinya bergemuruh tapi kali ini bukan karena handphone, karena ia diterima Lupita untuk bergabung di perusahaan tersebut, rasa antusias terpancar dari raut wajahnya, tak sabar rasanya ia ingin memeluk erat tubuh hangat sang ibu dan memberi kabar baik bagi keluarganya ini. Terima kasih pada Tuhan dipanjatkannya sepanjang jalan, seakan ingin memberi energi positif pada sekelilingnya. Tuhan, saya diterima kerja, terima kasih Tuhan!.
Empat setengah bulan sejak bergabung pada perusahaan distributor alat berat tersebut, Miqdad merasakan perbedaan yang sangat luar biasa, kini kondisi perekonomian keluarganya mulai membaik, dan ia menikmati seluruh aktifitasnya dikantor. Seakan waktu bergulir begitu cepat, ia kini mulai akrab dengan suasana kantor dengan ritme kerja yang tinggi dan menuntut seseorang bekerja dengan cepat. Sebulan terakhir ia pun sudah dipercaya atasannya untuk memegang sejumlah pengiriman luar daerah DIY, sungguh pekerjaan yang tidak mudah namun ia cukup bangga atas kepercayaan yang ia dapat dengan cepat tersebut.
Diluar dari pekerjaan yang berat tersebut, ada satu hal yang masih membuat Miqdad gelisah, ia sendiri tidak tahu pasti kondisi yang sebenarnya, ia merasakan ada perlakuan khusus yang ia dapatkan sejak awal ia bergabung dalam perusahaan tersebut, Lupita. Miqdad bisa merasakan kalau disetiap kesempatan, Lupita selalu ada didekat dirinya dengan cara apapun. Seperti siang ini, Lupita seperti sengaja turun ke lantai 3, dan menuju ke arah ruangan Miqdad hanya sekedar menyapa dan menanyakan kesediaan Miqdad menemaninya membeli peralatan kantor seusai pulang kerja nanti. Tanpa pikir panjang, Miqdad menyanggupi ajakan Lupita tersebut, padahal dalam benak Miqdad, ia yakin sekali Lupita bisa saja mengajak supir kantor dengan mobil kantor yang telah disediakan tanpa perlu susah payah terkena polusi jalan raya karena harus berkendara dengan motor butut Miqdad.
Toko ini sangat sederhana, Miqdad menikmati setiap inchi toko yang menjual beraneka peralatan kantor, bisa ia pastikan toko ini sudah berumur puluhan tahun, terlihat dari arsitekturnya yang bergaya kuno dan pemilik toko yang sudah tidak muda lagi. Mata Miqdad dari kejauhan memandangi sosok Lupita yang sibuk memilih-milih peralatan kantor, Lupita seperti sudah akrab dengan tempat ini, bahkan sesekali mata Miqdad menangkap sang pemilik toko yang warga keturunan Cina Jawa itu asik bersenda gurau dengan Lupita sambil membantu mencari barang-barang yang Lupita perlukan. Miqdad menghampiri keduanya dan manyapa hangat sang pemilik toko yang memperkenalkan diri dengan nama Tjahyadi, nama yang ia pergunakan untuk tinggal di pulau Jawa ini tentunya. Tjahyadi tersenyum dan melontarkan gurauannya pada Lupita setelah Miqdad memperkenalkan diri, seakan ada sesuatu yang pernah Lupita ceritakan pada Tjahyadi sebelumnya, namun aku tak langsung bereaksi, aku memilih untuk melihat-lihat barang lain di toko tersebut. Miqdad merasakan ada sesuatu yang tidak nyaman pada tempat itu, ia sangat menyukai arsitektur bangunan tersebut, tetapi ia menyayangkan gaya kuno itu tertutup keindahannya karena hampir seluruh barang yang dijual disana merupakan barang-barang hasil teknologi masa kini sesuai dengan kebutuhan manusia jaman modern seperti sekarang ini. Bagi Miqdad hal tersebut adalah sesuatu yang bertolak belakang, namun menurut Lupita tidak, ia justru sangat membutuhkan Toko Tjahyadi ini untuk melengkapi kebutuhan kantornya setiap saat.
Seusai berbelanja, Lupita masih mengajak Miqdad makan malam  disekitar Malioboro, disana mereka menikmati alunan musik pengamen jalanan khas kota Yogyakarta dan larut dalam obrolan yang semakin mendalam. Disela-sela obrolan mereka, Miqdad menanyakan Lupita mengenai gurauan Tjahyadi saat di toko miliknya tadi, Lupita pun tersenyum malu, lalu ia bercerita bahwa sejak ia bekerja tiga tahun lalu, ia sudah menjadi pelanggan tetap di toko milik Tjahyadi tersebut, setiap sepekan sekali ia berkunjung kesana untuk berbelanja kebutuhan kantor yang bisa ia dapatkan disana dengan harga murah, namun sejak setahun terakhir, Lupita juga akrab dengan Tjahyadi sang pemilik toko, mereka saling bertukar cerita mengenai pengalaman hidup masing-masing, sejak itulah Tjahyadi menganggap Lupita seperti anaknya sendiri, apapun yang Lupita alami selalu ia bagi dengan Tjahyadi yang seumuran dengan Almarhum ayahnya tersebut, termasuk perjumpaan Lupita dengan Miqdad saat wawancara pertama mereka dulu, Lupita mengakui dengan malu-malu kepada Miqdad bahwa ia kagum akan keteguhan Miqdad dalam menjalani hidup termasuk pilihannya untuk tidak diperbudak oleh teknologi, bagi Lupita kisah hidup Miqdad itu sangat unik dan rasanya sangat ingin ia bagi dengan Tjahyadi sang pemilik toko. Mendengar penjelasan tersebut, Miqdad tidak tahu harus menganggapinya dengan sikap seperti apa, yang ia lihat kini sosok Lupita dulu yang begitu dingin terhadapnya, seakan meleleh menjadi sosok wanita yang penuh kehangatan, sehangat jahe susu yang diseruputnya kini.
Semenjak perjalanan mereka berbelanja ke Toko Tjahyadi beberapa waktu yang lalu, hubungan Miqdad dan Lupita semakin dekat dan seakan mereka tidak memperdulikan gunjingan rekan-rekan sekantor yang iri melihat kedekatan mereka, apalagi satu hal yang menjadi alasan adalah karena sosok Lupita begitu menawan bagi setiap pria yang ada dikantor tersebut, tentu saja itu menimbulkan rasa dengki terhadap Miqdad, pegawai baru yang sangat beruntung itu.
Tiga bulan lebih kini Miqdad dan Lupita melewati masa-masa kebersamaan yang indah, tanpa pernah sekalipun mereka mengutarakan isi hati masing-masing. Bagi Lupita terkadang ini membuatnya tidak nyenyak tidur karena tidak ada status jelas diantara keduanya, namun bagi Miqdad, ia tak tahu harus memulai dari mana. Malam ini mereka berencana bertemu di pelataran taman Pintar Yogyakarta, seperti biasa menghabiskan waktu berdua, namun kali ini Lupita yang berencana lain, ia ingin mendapatkan penjelasan dari Miqdad perihal hubungan mereka yang ia yakini lebih dari sekedar pertemanan. Sambil ditemani dua cangkir kopi joss buatan kang Mahdi pemilik angkringan mini yang sederhana ini, Lupita memulai pembicaraan dengan pertanyaan yang ia utarakan dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang salah dari kata-katanya tersebut, Lupita mulai menanyakan apakah Miqdad merasa terganggu dengan kehadiran Lupita disisinya, Miqdad terperanjat dengan pertanyaan lupita yang sangat berani tersebut, seakan ia menangkap sinyal Lupita yang membutuhkan penjelasan mendalam dari dirinya. Seketika itu pula seperti ada keberanian yang tiba-tiba hinggap ditubuh Miqdad, ia mulai mengutarakan niat baiknya untuk menjadi laki-laki yang selalu ada di setiap waktu Lupita, dan memohon agar diberi kesempatan tersebut oleh Lupita, tak ada lagi yang bisa dikatakan Lupita, ia sangat bahagia malam itu, kopi pahit yang mereka minum pun seakan pekat rasa cokelat.
Dua hari sejak keduanya saling mengikat janji, Lupita dengan ragu memberikan sebuah bingkisan yang isinya sangatlah diperlukan oleh Miqdad saat ini, bukan hanya untuk kebutuhan pribadi Miqdad saja, tapi juga demi kelancaran komunikasi keduanya, HANDPHONE. Kali ini Lupita sangat hati-hati dalam bertindak, ia tidak mau apa yang ia lakukan ini menyinggung apalagi menyakiti hati kekasihnya itu, dengan kata-kata manis yang ia untai, Lupita memberikan bingkisan tersebut dihadapan tubuh hangat lelaki yang dicintainya itu. Saat membuka bingkisan tersebut, Miqdad tertegun sesaat dan tak tahu harus berkata apa, karena seumur-umur ia tak pernah memiliki benda yang paling dijauhinya dulu. Sejujurnya ada rasa ingin marah pada diri Miqdad, tetapi ia mulai menyadari bahwa wanita yang ada dihadapannya ini hanya ingin memberikan yang terbaik bagi dirinya dan tentu saja ada maksud dan tujuan Lupita memberikan benda tersebut, dalam hati ia mengaku kalah, mungkin kini ia memang butuh sekali benda itu, paling tidak ia mudah untuk mendapatkan kabar dari wanita yang dipeluknya kini dengan erat, mungkin.
Satu tahun sudah Miqdad bergabung di perusahaan tempatnya kini bekerja. Entah apa yang ia rasakan, karena banyak sekali hal baru yang ia dapatkan, pengalaman dan tentu saja hal yang tak terduga sebelumnya, Lupita kekasihnya. Kini ia mulai terbiasa berkomunikasi dengan Lupita dengan Handphone yang diberikan Lupita beberapa bulan yang lalu, tak pernah satu hari pun mereka lewatkan tanpa memberi kabar masing-masing. Hal tersebut tentunya sangat membantu Miqdad maupun Lupita mengingat kini pekerjaan Miqdad yang semakin menumpuk dan harus sering meninggalkan Lupita demi menyelesaikan tanggung jawabnya diluar DIY.
Hubungan khusus yang dijalani Lupita dan Miqdad, sudah bukan rahasia lagi di kantor tempat mereka bekerja. Bagi para wanita tentunya ini adalah keesempatan untuk bisa mendekati pria-pria yang dari dulu hanya sibuk memperhatikan Lupita, namun tidak bagi Deris, ia sangat mengutuk hubungan Lupita dan Miqdad, bagi Deris, sosok Miqdad tidak hanya mengacaukan impiannya untuk mendapatkan Lupita yang sudah ia pendam sejak dulu, tapi kehadiran Miqdad dikantor tersebut juga membuat kariernya hancur berantakan. Deris masih ingat satu tahun yang lalu, seharusnya ia yang mendapatkan posisi asisten kepala gudang yang ditempati Miqdad sekarang, dulu ia harus berjuang dari menjadi staff gudang dengan harapan dapat meningkat posisinya menjadi asisten kepala gudang atau menjadi kepala gudang. Hal tersebut sudah ia rencanakan dengan matang sebelum kehadiran Miqdad dikantor tersebut, namun rencana Deris harus hancur berantakan hanya karena atasannya meminta ia mengenyam bangku pendidikan S1 terlebih dahulu agar mampu menduduki posisi yang ia inginkan, mengingat ia hanya jebolan SMK jurusan mesin yang beruntung diangkat menjadi staff dikantor tersebut, karena rekan-rekannya yang pendidikannya setaraf dengan Deris harus bersyukur ditempatkan dilapangan. Pada awalnya Deris yakin akan kemampuan yang ia miliki, namun sang atasan berkehendak lain, ia ingin yang menduduki posisi asisten atau kepala gudang adalah lulusan S1 teknik yang mampu mengatur pola distribusi yang sudah ada dengan lebih baik lagi. Harapan Deris semakin hancur ketika perusahaan melakukan proses rekruitmen dan bergabunglah Miqdad di posisi yang Deris inginkan sejak lama. Sejak Miqdad bergabung diperusahaan tersebut, Deris mulai menerima kekalahan dirinya dengan lapang dada dan mencoba merajut mimpinya dengan berencana mengambil kuliah jurusan teknik di malam hari seusai bekerja, namun kegelisahan hati Deris semakin menjadi-jadi tatkala ia mengetahui wanita pujaannya kini sudah menjadi kekasih dari laki-laki yang sudah seperti musuh baginya.
Hari ini tepat tanggal 17 Oktober 2011, Miqdad memiliki tanggung jawab untuk memantau langsung proses distribusi mesin pengeruk tanah yang baru saja didatangkan dari Cina untuk dipasarkan diwilayah Jawa Tengah. Pagi ini Miqdad sudah membenahi barang bawaannya untuk keperluan tiga hari mendatang selama ia harus pergi ke kota lain diluar Yogyakarta, sang ibu yang ikutan repot membantu Miqdad memasukkan barang-barang keperluan anaknya dan memastikan tidak ada yang terlewat, namun satu hal yang membuat sang ibu terheran-heran adalah satu benda yang diselipkan diantara handuk bersih milik Miqdad, Handphone dan alat isi ulang baterainya, si ibu mulai bertanya dalam hatinya, sejak kapan Miqdad memiliki barang ini dan mengapa Miqdad tidak memberitahu ke keluarganya, pikiran si ibu yang tidak karuan tersebut cepat-cepat ditempisnya agar tidak menjadi beban anak sulung kesayangannya ini pergi melaksanakan tugasnya, terbesit dalam hatinya memanjatkan doa agar puteranya selalu dilindungi oleh Tuhan yang Maha Pemurah.
Perjalanan dengan mengunakan truck jenis trailer ini tentunya bukan hal pertama yang dilakukan Miqdad, namun ia harus akui perjalanan kali ini terasa berat karena udara diluar sangat panas dan membuatnya berkali-kali harus meneguk air mineral yang dibawanya sejak dari rumah kemarin. Perjalanan ke wilayah Purworejo dengan melalui jalan alternatif yang berlobang penuh perjuangan baginya yang duduk disamping Karjo sang supir kantor. Sesekali ia menyeka butir-butir keringat yang meleleh membasahi tubuhnya. Tiba-tiba ia teringat pada satu benda yang belum disentuhnya dari awal perjalanan kemarin, ia merogoh tas ranselnya dan memencet tombol on/off dengan sangat hati-hati. Rasa rindunya akan sosok yang ingin ia hubungi semakin besar dan membuatnya melupakan sejenak hawa panas yang ia rasakan sejak tadi. Lima menit kemudian setelah benda itu sudah aktif dan siap digunakan, Miqdad tersentak karena banyak sekali pesan singkat yang masuk ke benda itu, dengan perlahan ia membuka satu persatu pesan yang masuk, dan alangkah kagetnya ketika ia membaca pesan singkat yang pertama,”Miqdad kalau kamu meyakini wanita terdekat yang ada dihidupmu ini adalah wanita baik-baik, seharusnya ia tidak mungkin melakukan hal ini bukan?”
Dengan wajah merah kepanasan dan pikiran yang kalut karena tidak mengerti maksud dari si pengirim pesan tersebut, Miqdad mencoba membuka kembali pesan singkat selanjutnya, alangkah kaget dan seakan darah mengalir deras ke kepalanya dan memaksa ingin keluar dari sela-sela pori-pori kulitnya, ia mencoba menyadarkan dirinya apakah yang dilihatnya mimpi buruk diwaktu tidurnya, tapi ia sangat yakin ia kini dalam keadaan sadar dan tidak sedang bermimpi, ya Tuhan!
Perasaan yang begitu bergemuruh tidak bisa menahannya lebih lama lagi melakukan perjalanan ini, ia bergegas menyelesaikan tanggung jawabnya seperti orang yang kesurupan, tanpa banyak bicara dan tanpa banyak komentar, ia memutuskan untuk kembali lebih cepat dari jadwal perjalanannya, karena salah seorang rekan yang ikut bersamanya mampu menggantikan tugas Miqdad dihari terakhir perjalanan mereka besok. Dengan mata yang merah dan detak jantung yang cepat, Miqdad memilih menumpang ojeg motor dari Purworejo menuju terminal bis terdekat dan memutuskan mengambil perjalanan pertama menuju Yogyakarta dan berharap secepatnya mendapatkan penjelasan dari seseorang disana, di kota kelahirannya itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 18.22, sore hari yang dihiasi senja merah diujung ufuk dan tersembul dari balik jendela bis yang Miqdad tumpangi, ia pun membenarkan posisi duduknya dan mencoba menahan rasa sakit dikepala akibat kurang tidur dan rintangan selama perjalanan kemarin, sudah satu jam tubuhnya terlelap dibalik kursi penumpang dan seketika ia tersadar bahwa ada satu hal yang paling menghantui perasaannya kini, teringat lagi akan pesan singkat yang ia terima pagi hari tadi dan mengacaukan seluruh tugas keluar kotanya kali ini. Tak lama lagi bis yang ditumpanginya akan memasuki kota Yogyakarta, tak sabar ia ingin cepat bergegas ke satu alamat yang beberapa bulan terakhir selalu disinggahinya.
Miqdad memilih turun dari pintu belakang bis dan berjalan setengah berlari ke pangkalan taksi yang terdapat diluar terminal bus Yogyakarta, ia segera membuka pintu dan memerintahkan sopir taksi untuk segera melaju ke alamat yang ia tuju. Berselang 20 menit kemudian, tibalah ia di sebuah gedung bercat putih yang sangat akrab di kedua pelupuk matanya, ia yakini bahwa bangunan megah tersebut adalah saksi cerita indah yang ia rajut bersama kekasihnya, Lupita. Miqdad mulai membuka gerbang rumah sangat hati-hati dan meyakini siempunya bangunan tersebut ada didalam, karena Miqdad tahu betul bahwa hanya ada seseorang yang tinggal dirumah tersebut karena Lupita adalah pendatang dari kota Bandung dan beruntung mendapatkan pekerjaan di kota Yogyakarta ini. Sepanjang kaki Miqdad menapaki pekarangan rumah, teringat kembali kenangannya akan Lupita sejak awal perjumpaan mereka dan sesaat sebelum ia memutuskan berangkat keluar kota dua hari yang lalu, betapa Miqdad sangat mencintai wanita yang ia kenal sederhana dan penuh pengertian ini, dibenaknya yang paling dalam, Miqdad rindu aroma tubuh Lupita yang sudah lekat dalam ingatan Miqdad, namun ia tersadar pada kenyataannya kini ia kembali mencari aroma tubuh wanita tersebut bukan untuk memeluknya hangat, tetapi memberikan kesempatan wanita itu untuk menjelaskan atas apa yang ia terima pagi ini, pesan singkat itu.
Miqdad tak ingin berbasa-basi, ia mulai mendorong daun pintu rumah Lupita dan mulai mencium aroma khas ruangan milik Lupita yang selalu tertata rapih dan wangi, Miqdad melangkahkan kakinya menuju ruang pribadi Lupita yang merupakan latar belakang foto di pesan singkat yang ia terima tadi pagi. Sayup-sayup terdengar suara dua manusia berlawanan jenis berbincang dari arah kamar Lupita, kini Miqdad tepat tegak lurus dengan pintu ruangan pribadi Lupita dan membuka pintu yang berukir ukiran pohon cemara dengan keras tanpa perhitungan terlebih dahulu, dan tak sedetik pun ia memberikan kesempatan sang wanita pujaan hatinya untuk menjelaskan, dengan nafas yang menderu-deru, ia menghunus pria itu berkali-kali dengan gunting yang ia raih di meja rias Lupita, seperti singa kelaparan yang ingin mangsanya terbunuh lalu memakannya setengah sekarat, mati kau bangsat!, ujarnya.
Teriakan Lupita yang nyaring menyadarkan tubuh Miqdad yang sudah berlumur darah dengan tangan yang masih menggenggam gunting ibarat senjata yang siap menghunus siapapun yang mendekat, mata Miqdad pun mencari sosok yang berteriak itu dan mengahampirinya, namun bukan untuk memeluknya seperti dulu, tapi ia malah menghadiahi wanita itu tusukan yang bertubi-tubi, dan mati!
Ruangan ini tidak besar, sebesar kandang ayam milik ayah disamping rumahnya, sempit dan sesak karena harus dibagi dengan empat manusia lainnya yang kini menjadi keluarganya. Setiap hari ia harus menyaksikan betapa serunya permainan kartu yang keempat kawannya mainkan setiap siang, mengisi kekosongan waktu yang ada sambil menunggu giliran jadwal piket untuk membersihkan “rumah” mereka kini. Bobot tubuh Miqdad berkurang delapan kilogram sejak hari itu, 18 Oktober 2011, dimana ia membiarkan tangan kanannya menghilangkan dua nyawa sekaligus, padahal sejak kecil, ibunya selalu mengajarkan bahwa gunakanlah tangan kanan untuk kebaikan, tiba-tiba ia teringat sosok ibunya yang mulai termakan usia, diluar sana pasti ibunya hanya tinggal menghitung hari semakin dekat dengan kematian karena menahan perih anak sulung kebanggaannya menjadi pesakitan dan tak bermasa depan. Miqdad menangis tapi tak berair mata, hatinya perih, ia malu, ia pembunuh!
Enam puluh tiga hari sudah ia disini, melawan dunia dengan kerasnya kehidupan penjara, lebih baik ia mati dan pergi menyusul sang ibu untuk bersimpuh dikakinya, ia lupa akan keyakinan hatinya dulu, seandainya saja ia masih memilih untuk tidak akan pernah menerima barang keparat itu, sumber petaka kejadian bulan lalu. Hari ini ia baru mengerti, bahwa laki-laki yang berkelakar penuh canda dengan kekasihnya kala itu adalah Topas Hermawan, kakak kandung Lupita Hermawan.!
Semakin hancurlah hati Miqdad ketika dua tangan kekar memegang pundaknya dan meminta maaf dengan nada yang tidak tulus, seseorang yang mengakui kesalahannya, seseorang yang sengaja mengarang cerita, seseorang yang mengambil foto Topas dan Lupita secara diam-diam dan mengirim foto-foto tersebut ke nomor pribadi Miqdad, seseorang dibalik kehancuran hidup Miqdad Bir Ali, Deris.
Bangsat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar